Oleh: Riza Rizky Pratama
Baru-baru ini MUI telah mengadakan Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa III se-Indonesia yang digelar di Padang Panjang, Sumatera Barat di mana dalam forum tersebut berhasil menetapkan 24 fatwa baru di antaranya tentang fatwa terkait rokok.
Forum Ijtima Ulama menetapkan dua hukum dasar pada benda 9 cm ini yaitu Haram dan Makruh. Seperti yang dijelaskan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Ma’ruf Amin bahwa rokok diharamkan khusus bagi anak-anak dan ibu hamil. Selain itu, para ulama juga mengharamkan aktivitas merokok di tempat umum.
Pembahasan alot pun terjadi ketika para peserta forum menyatakan keberatannya seputar pengharaman rokok ini. Salah satu di antaranya yakni Ketua MUI Kudus, M. Syafiq Nashan menegaskan, jika rokok diharamkan akan sangat berdampak besar bagi masyarakat Kudus. Seperti yang kita ketahui bahwa Kudus merupakan kota yang menggantungkan hidupnya dari rokok. Warga penduduknya banyak yang bekerja sebagai petani tembakau dan menjadi buruh di pabrik-pabrik rokok.
Selain itu yang perlu kita cermati bahwa masih banyak para ulama yang masih setia dengan “Tuhan 9 cm” ini. Alangkah paradoks, jika institusi ulama tertinggi di negeri ini telah mengharamkan rokok tetapi para ulama di dalamnya sebagian besar masih gemar menghisap rokok, sungguh ironis.
Sebenarnya keputusan yang telah diambil oleh MUI sudah sangat tepat mengingat banyak sekali kerugian yang ditimbulkan oleh rokok. Tapi jika memandang masalah ini melalui sudut pandang ekonomi Islam, maka akan timbul dualisme maslahat yang akan menjadi polemik berkepanjangan jika tidak ditangani dengan serius.
Seperti yang dilansir pada kolom opini Republika, Sabtu 31 Januari 2009 terdapat fakta yang cukup mengerikan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan konsumsi rokok tertinggi setelah Republik Rakyat Cina, USA, Rusia, dan Jepang (data tahun 2002). Konsumsi rokok mencapai 181,958 miliar batang. Lebih memprihatinkan lagi adalah Survei Ekonomi Nasional melaporkan bahwa peningkatan signifikan prevalensi merokok anak usia 15-19 tahun, dari 12,7 persen di tahun 2001 meningkat menjadi 17,3 persen di tahun 2004. Artinya, jumlah perokok tahun 2004 mencapai 40 juta dari 220 juta penduduk Indonesia! Walau belum ada angka pasti, pertumbuhan angka ini diprediksi akan semakin menggila mengingat gencarnya industri rokok yang mempromosikan produknya.
Walaupun fakta menunjukkan bahwa kematian akibat rokok mencapai 38 orang setiap menitnya (Depkes RI), sangat disayangkan alasan yang sangat rasional inipun belum menjadi prioritas negara untuk menurunkan prevalensi perokok. RUU Pengendalian Dampak Tembakau pada tahun 2006 yang pernah disodorkan telah gagal total di DPR dengan alasan yang sangat teknis. Untuk yang satu inipun kita tidak perlu heran, seperti yang bisa kita lihat di media masih banyak anggota dewan kita yang terhormat dengan pedenya menghisap rokok di depan khalayak ramai meski sudah ada perda yang melarangnya.
Fakta lain mengatakan bahwa pemerintah berharap dengan dinaikkannya tarif cukai hasil tembakau sebesar 7 persen yang akan berlaku efektif per 1 Februari mampu memberikan penerimaan negara di tahun 2009 sebesar Rp 48,2 triliun atau naik 2,7 triliun dari APBN-P 2008. Hal ini dapat dilihat dari roadmap penerimaan negara dari cukai industri rokok yang menargetkan pertumbuhan produksi rokok nasional sebesar 260 miliar batang di tahun 2015!
Selain itu, hingga saat ini Indonesia belum lagi menandatangani Konvensi WHO tentang Framework Convetion on Tobacco Control (FCTC). FCTC sendiri telah ditandatangani oleh 181 negara dari 195 negara di dunia dan 162 negara di antaranya telah meratifikasinya. Padahal, pokok-pokok yang terkandung dalam FCTC sangat penting untuk mengatur pengendalian harga dan pajak, pengendalian iklan, pengaturan label dan isi rokok, serta pengendalian pencemaran akibat rokok dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat. Andaikan FCTC ditandatangani dan diratifikasi, tentu MUI tidak usah repot-repot menerbitkan fatwa haram atas rokok.
Fakta-fakta di atas menjadi penguat bagi kita untuk menghindarkan bahaya rokok guna menciptakan maslahat yang lebih besar yaitu terciptanya masyarakat yang lebih sehat dan bersih dari asap rokok. Namun di sisi lain muncul ketakutan berbagai pihak terhadap dampak sosio-ekonomi yang ditimbulkan diantaranya pengangguran besar-besaran akibat ketiadaan sumber mata pencaharian dari rokok dengan dalih pengharaman yang dilakukan oleh MUI. Padahal jika dicermati lebih teliti, dampak sosial dan ekonomi jangka menengah atau jangka panjang jauh lebih besar, seperti dampak kesehatan yang ditimbulkan, angka usia harapan hidup turun mengakibatkan produktivitas masyarakat menurun, dan berimplikasi pada tingkat ekonomi nasional.
Perlu adanya langkah cerdas serta jitu dalam menangani masalah ini. Untuk itu, perlu adanya “manajemen transisi” yang didukung seluruh lapisan masyarakat guna mengkonversi industri rokok menjadi industri lain.
Di sektor hulu misalnya perlu adanya upaya diversifikasi tanaman tembakau ke tanaman lainnya seperti tanaman jarak yang digunakan untuk peningkatan produksi energi alternatif seperti bioetanol. Di sektor hilir contoh lainnya, perlu adanya pembinaan “warung-warung rokok” yang intensif oleh retail-retail modern sehingga dapat menjual consumer good, selain rokok. Jika ini dijalankan secara berjamaah diikuti kesungguhan yang tinggi, maka Insya Allah akan tercapai suatu win-win solution bagi semua. Jadikan fatwa ini sebagai pesan tersirat bahwa perlu adanya penyusunan program-program yang lebih sistematis dan lebih konkret terkait pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Wallahu’alam bishowab.
Sumber:
Republika, Selasa, 27 Januari 2009
Republika, Sabtu, 31 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar